.

Makalah Hukum Tata Negara Islam "Sistem Perpajakan dalam Sistem Pemeritahan Islam"

Diposting oleh Unknown on Selasa, 22 Mei 2012


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Adakah pajak dalam Islam? Pertanyaan yang mungkin sering diutarakan orang yang mengkaji beberapa disiplin ilmu yang erat hubungannya dengan Tata Negara Islam. Seperti penghasilan Negara kita yang faktanya mencapai 78% dari pajak, terutama Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Terbukti juga dari fakta menarik tentang alokasi pajak untuk fakir miskin, peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang kita rasakan bersama tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan, alokasi pajak untuk mengatasi kemiskinan melalui departemen sosial hanya Rp 16,2 triliun atau setara 4,1 dari APBN pada tahun 2005. Ternyata 51% penerimaan pajak digunakan untuk membayar utang Negara.
Tidak adanya definisi pajak dalam Undang-undang Perpajakan. Maka bisa dipastikan semua orang mendefinisikan pajak sebagai alat kepentingan penguasa, kembali ke pertanyaan awal, pajak dalam Islam Gusfahmi dalam bukunya Pajak atau Dharibah menurut Syariah adalah berbeda dengan pajak atau tax dalam ekonomi kapitalis dan sosialis. Pajak dibolehkan dalam Islam karena adanya kondisi tertentu juga dengan syarat tertentu, seprti harus adil merata dan tidak membebani rakyat. Jika melanggar ketiganya maka pajak seharusnya dihapus dan pemerintah mencukupkan diri dari sumber sumber pendapatan yang jelas. Lebih lanjut akan dijelaskan dalam makalah yang kami susun berikut ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian pajak atau dharibah serta macam-macamnya dalam Sistem Pemerintahan Islam ?
2.      Bagaimana penggunaan pajak dalam sistem pemerintahan Islam ?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian dan Macam-macam Pajak dalam Sistem Pemerintahan Islam
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah, yang artinya adalah: “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” Para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Sedangkan, menurut ahli bahasa, pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”[1]
Ketentuan-ketentuan syar’I, baik yang tertuang di dalam Alqur’an maupun Hadits Nabi SAW, yang mengatur pajak secara langsung memang tidak ada. [2] yang ada adalah atsar para sahabat yang berbentuk praktek penyelenggaraan Negara yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sejak Khalifah Umar bin Khattab. Itupun terbatas pada pajak yang wajib dibayarkan oleh warga Negara non muslim yang menggarap tanah Negara. 
Diluar kenyataan tersebut timbul beberapa perbedaan dari kalangan ahli hukum tentang boleh-tidaknya pajak sebagai sumber pendapatan Negara, salah satu pendapat yang dapat dambil adalah pendapat dari M. Yusuf Qardawi “Tidak diragukan lagi bahwa mencari hukum melalui kaidah syarat ini tidak hanya berakhir pada pembolehan pajak semata-mata tapi menetapkan kewajiban serta memungutnya untuk merealisasikan kepentingan umum dan Negara serta guna menolak segala yang membahayakan kepadanya, apabila sumber-sumber lain tidak mencukupinya.”[3]
Menilik sejarah, pada masa awal pemerintahan, pendapatan, dan pengeluaran hampir tidak ada. Rasulullah tidak mendapatkan gaji atau upah sedikitpun dari Negara maupun masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa makanan. Pada masa yang sama pula tidak ada tentara formal, semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari rampasan perang. Rampasan perang tersebut meliputi senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya yang didapatkan dalam perang.  
Adapun macam-macam pajak yang pernah dipraktekkan dalam pemerintahan Islam, juga yang pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, adalah sebagai berikut:
1.1. Pajak kepala (al-Jizyah)
Kata jizyah diambil dari kata  jaza’  yang artinya imbalan.[4] Jizyah adalah pajak kepala yang dibayarkan oleh penduduk dar al-Islam yang bukan muslim kepada pemerintah Islam.  Jizyah ini dimaksudkan sebagai wujud loyalitas mereka kepada pemerintah Islam dan konsekuensi dari perlindungan (rasa aman) yang diberikan pemerintah Islam untuk mereka.[5]
Pada masa Rasulullah, besarnya jizyah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayar, sedangkan perempuan, anak-anak, pengemis, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita sakit jiwa dan semua yang menderita sakit dibebaskan dari kewajiban ini. [6]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy mengistilahkan jizyah dengan pajak kepala yang diwajibkan kepada semua orang non Islam laki-laki, merdeka dan sudah dewasa, sehat dan kuat serta masih mampu bekerja.[7] Jizyah didasarkan kepada firman Allah di dalam al-Qur’an:
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Artinya : Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah[638] dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah: 29)[8]
Dalam sejarah, jizyah telah lama dipraktekkan jauh sebelum kedatangan Islam. Dalam hubungan internasional ketika itu, Negara-negara seperti Romawi, Persia dan Yunani, mewajibkan penduduk Negara yang mereka taklukkan untuk membayar pajak kepada mereka. Setelah Islam datang, Islam melakukan perubahan dengan membebaskan penduduk yang kalah perang dari wajib militer. Bila mereka masuk militer, maka mereka dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah.
Perubahan lain yang dilakukan Islam dalam hal ini adalah memformat jizyah menjadi suatu sistem sosial yang memberikan peluang bagi warga Negara non-muslim di dar al-Islam untuk memperoleh tunjangan dari Negara. Oleh karenanya,  jizyah tidak diambil dari non-muslim yang miskin dan anak-anak.
Besarnya jumlah jizyah sangat relatif, tergantung pada kebijaksanaan pemerintah. Pembayarannya pun bersifat fleksibel, tidak harus dengan dengan uang melainkan bisa juga dibayar dengan binatang ternak dan kewajiban ini hanya diberlaukan sekali setahun. [9]
1.2. Pajak Tanah (Kharaj)


Kharaj secara sederhana dapat diartikan sebagai pajak tanah. Pajak tanah ini dibebankan atas tanah non-muslim dan dalam hal-hal tertentu juga dapat dibebankan atas umat Islam. [10]
Berbeda dengan jizyah yang ditetapkan oleh nash, kharaj ditetapkan oleh ijtihad.[11] Oleh karena itu, penanganan kharaj diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad imam.[12]
Kharaj pertama kali dikenal dalam Islam setelah perang Khaibar, yaitu pada saat Rasulullah SAW memberikan dispensasi  kepada penduduk Yahudi Khaibar untuk tetap memiliki tanah mereka, dengan syarat mereka membayar sebagian hasil panennya kepada pemerintah Islam. Dalam sejarah Pemerintahan Islam, kharaj merupakan sumber keuangan Negara yang dikuasai pemerintah, bukan oleh sekelompok orang. Adapun kewajiban membayar kharaj hanya sekali satu tahu.
Jumlah kharaj yang pernah dipraktekkan dalam Pemerintahan Islam beragam, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat yang wajib membayarnya dan tanah pertaniannya. Adapun menyangkut teknis pengumpulannya kharaj biasanya dilakukan oleh sebuah tim atau dewan yang diberi wewenang oleh pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. [13]


1.3.  ‘Ushur at-Tijarah
‘Ushur at-Tijarah adalah pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang non-muslim yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Pajak perdagangan ini tetap diberlakukan dalam dunia internasional hingga saat sekarang.
Dalam Negara Islam, kebijakan pemberlakuan pajak perdagangan ini dimulai pada Pemerintahan ‘Umar ibn Khathab. Ketika wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang  pesat, sebagian kaum muslimin melakukan perdagangan internasional dengan Negara-negara non Muslim. Dalam perdagangan tersebut, ternyata umat Islam yang melakukan transaksi di Negara non-muslim dikenakan pajak oleh Pemerintahan yang bersangkutan. Dari hal tersebut, akhirnya ‘Umar pun memberlakukan pajak perdagangan bagi non-muslim warga negara asing  yang melakukan transaksi bisnis di Negara Islam. Adapun pemberlakuan pajak ini dimaksudkan untuk menambah devisa Negara dalam rangka mengelola dan menjalankan roda Pemerintahan.
Seperti halnya jizyah, kewajiban pajak perdagangan ini juga hanya setahun sekali. Namun berbeda dengan jizyah, pajak perdagangan masih tetap diberlakukan dalam masa modern ini yang tentu saja dengan penerapan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, contohnya dengan memberlakukan bea masuk barang-barang impor.[14] Bea import adalah aturan siyasah syar’iyah yang diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah demi kemaslahatan umat.[15]


Sumber-sumber Pendapatan Negara pada Masa Rasulullah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : [16]
Dari Kaum Muslim
Dari Kaum Non Muslim
Umum (Primer Sekunder)
·         Zakat
·         Ushr (5-10%)
·         Ushr (2,5 %)
·         Zakat Fitrah
·         Wakaf
·         Amwal Fadhilah
Nawaib
·         Sedekah lain
·         Khums
·         Jizyah
·         Kharaj
Ushr (5%)
·         Ghanimah
·         Fai
·         Uang Tebusan
Pinjaman dari kaum Muslimin atau non-Muslim
·         Hadiah dari pemimpin atau pemerintahan Negara lain
2.      Penggunaan Pajak dalam Sistem Pemerintahan Islam
Di antara masalah terpenting yang mendapat perhatian Islam adalah pembagian kekayaan secara adil di tengah masyarakat. Pembagian kekayaan ini dilakukan dalam tiga tahap, pra produksi, saat produksi dan pasca produksi. Dalam hal pembagian kekayaan ini ada keniscayaan untuk menerapkan keadilan, penyusunan kebijakan dan campur tangan pemerintahan Islam dalam aktivitas ekonomi. Karena itu, dalam sistem ekonomi Islam selain kepemilikan pribadi ada juga kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Tentunya, apa saja yang dimiliki oleh negara akan dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan pembiayaan pengelolaan negara. Ada pula kekayaan milik umum seperti hutan, laut, danau, gunung dan lainnya yang menurut Islam adalah milik umum. Hal-hal tadi tidak berada dalam kepemilikan negara. Negara hanya berfungsi sebagai pengawas dan pengatur pemanfaatannya, yang hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Dengan demikian, kekayaan ini tidak jatuh dalam monopoli segelintir orang tertentu.
Distribusi dan pembagian kesempatan berproduksi di tengah masyarakat adalah salah satu masalah inti dalam setiap sistem  ekonomi. Sistem yang berdiri di atas landasan pembagian yang benar adalah sistem ekonomi yang bisa memberi kesempatan dan membagi kekayaan secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Dengan demikian, selain mencegah penistaan hak oleh sebagian pihak, sistem ini juga mempertahankan hak-hak generasi mendatang akan kekayaan negeri. Untuk menegakkan keadilan pada tahap ini negara harus membuka peluang bagi kalangan masyarakat lemah untuk bisa memperoleh fasilitas yang layak di bidang pendidikan, kesehatan, lapangan kerja dan semisalnya. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan pendapatan yang lebih besar. Allah Swt di surat al-Hasyr ayat 7 berfirman
!$¨B uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu ô`ÏB È@÷dr& 3tà)ø9$# ¬Tsù ÉAqߧ=Ï9ur Ï%Î!ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ös1 Ÿw tbqä3tƒ P's!rߊ tû÷üt/ Ïä!$uŠÏYøîF{$# öNä3ZÏB 4 !$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ  
Artinya : Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya(QS Al Hasyr : 7).[17]
Ayat ini menegaskan, jangan sampai kekayaan tertumpuk dan berputar hanya di tangan segelintir orang kaya. Dalam kebanyakan kasus, kekayaan yang hanya dimonopoli oleh sekelompok orang tertentu akan menciptakan satu kutub kekuatan tersendiri di tengah masyarakat. Orang-orang yang memperoleh kekayaan berlimpah lewat cara-cara yang tidak benar akan menguasai masyarakat yang miskin. Kondisi seperti ini bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena itu, dalam sistem pemerintahan Islam, negara harus turun tangan dengan membuka pintu bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam proses produksi.
Kewenangan negara di bidang ekonomi berguna untuk mengatur aktivitas ekonomi di sektor swasta. Untuk mewujudkan keadilan, negara melakukan tiga hal, membuat undang-undang, serta bertindak dalam kapasitas pelaksana dan pengawasan. Islam tidak mengizinkan perolehan kekayaan dengan segala cara. Terkait pemerataan pendapatan, negara menerapkan aturan yang mengatur berdasarkan kelayakan. Negara memegang tugas dalam hal pemberian gaji secara adil, pengawasan terhadap pendapatan dari aktivitas ekonomi dan pencegahan terhadap aktivitas ekonomi yang merusak yang bisa mendatangkan kekayaan berlimpah yang tidak masuk akal.
Sistem perpajakan dalam Islam memiliki peran penting dalam hal ini. Secara umum, ada dua macam pajak yang diatur oleh sistem ekonomi Islam. [18]
1.      Pajak dalam bentuk khumus dan zakat
Khumus adalah kewajiban yang mesti dibayarkan sebesar 20 persen dari hasil usaha selama satu tahun, pertambangan, ghanimah perang, dan penemuan harta karun. Sedangkan zakat adalah kewajiban yang harus dibayarkan dari beberapa item kekayaan seperti emas, perak, ternak, gandum dan lainnya yang sudah diatur dalam ketentuan fikih. Khumus dan zakat ibarat pajak harta yang harus dibayar oleh setiap muslim. Dengan membayarnya, orang yang memiliki kelebihan harta bisa menyantuni kelompok masyarakat yang kurang mampu. Hal itu juga menjadi salah satu cara untuk mencegah terkumpulnya harta di tangan segelintir orang.  
2.      Pajak yang kebijakannya ditentukan oleh pemerintahan Islam sesuai dengan situasi dan kondisi.
Jenis pajak kedua yang ditetapkan dalam Islam adalah pajak yang ditentukan oleh pemerintahan Islam. Negara memerlukan pendanaan untuk membiayai sektor investasi, manajemen dan membangun sistem ekonomi yang sehat. Sementara, dana yang didapat dari zakat dan khumus tidak mencukupi. Pajak ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara. Suntikan dana ini berarti distribusi kekayaan dan pendapatan di tengah masyarakat dengan cara yang lebih adil yang diawasi dan dikelola oleh negara.
Syarat-syarat Pajak dimana sistem pajak yang di akui dalam sejarah Islam dibenarkan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tidak ada sumber pendapatan lain.
2.      Pembagian beban pajak yang adil
3.      Di pergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat.
4.      Persetujuan para ahli dan cendekia
Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan Negara yang merupakan wewenang penuh pemerintah dalam pengeluaran dan pendistribusiannya. Adapun prinsip penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah adalah bahwa pengelolaan tersebut harus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan Negara. Diantara pos-pos pengeluaran Negara yang terpenting adalah:
a.       Memberantas kemiskinan
Tugas pemerintah Islam adalah memberantas kemiskinan dalam masyarakat dan memenuhi kebutuhan pokok hidup mereka melalui belanja Negara.
b.      Pertahanan Negara
Pemerintah harus mengalokasikan belanja Negara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan Negara yang secara khusus berada dalam tanggung jawab militer, karena salah satu ciri Negara yang kuat adalah kuatnya sektor militer dan tingginya tingkat komitmen mereka dalam pertahanan dan keamanan Negara.
c.       Pembangunan hukum
Pembangunan hukum merupakan hal yang penting dalam menata kehidupan dan ketertiban suatu Negara, sehingga tidak tegaknya hukum dalam sebuah Negara mengakibatkan kehancuran dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab itu, Pemerintah harus mengalokasikan belanja Negara untuk pembanguan hukum.
d.      Pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial
Pengeluaraan Negara dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial guna untuk mendukung pertumbuhan dan perkebangan ekonomi masyarakat yang makmur.
e.       Pendidikan
Pemerintah sepatutnya memberikan perhatian yang lebih besar pada sektor pendidikan, karena pendidikan merupakan hal penting dan syarat mutlak bagi peningkatan SDM. Adapun wujud perhatian tersebut dapat dilihat dari berapa besar dana belanja Negara untuk kepentingan sektor ini.[19]


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
-          Pajak adalah : “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum.”
-          Macam-macam yang pernah dipraktekkan pada Pemerintahan Islam, berupa
1.      Jizyah (pajak perlindungan),
2.      Kharaz (pajak tanah), dan
3.      ‘Ushur al tijarah (pajak perdagangan).
-          Adapun penggunaan pajak ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan Negara. Diantara pos-pos pengeluaran Negara yang terpenting adalah: memberantas kemiskinan, pertahanan Negara, pembangunan hukum, pembangunan infrastruktur dan fasilitas sosial, dan pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mawardi, Imam,  Terjemah Al-Ahkam As-Sulthaniyyah(Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam), Jakarta: Darul Falah, 2007
Azwar, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : The International Institute of Islamic Thought, Cet II), 2002
Azwar, Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet III), 2004
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra, tt
Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, Bogor: Kencana, Cet I, 2003
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001
Abu Ibrahim Muhammad Ali “Pajak dalam Islam” dalam http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0 diakses pada 17 Mei 2012
Dalam “Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Ketiga)” http://indonesian.irib.ir/equilibrium/-/asset_publisher/yB7o/content/sistem-ekonomi-islam-dan-keadilan-bagian-ketiga diakses pada 8 April 2012



[1] Abu Ibrahim Muhammad Ali “Pajak dalam Islam” dalam http://www.almanhaj.or.id/content/2437/slash/0 diakses pada 17 Mei 2012
[2] Abdul Qadin Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam (Surabaya : PT. BIna Ilmu. 2005), 410
[3] Ibid, 410
[4] Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, yang diterjemahkan oleh Fadli Bahri dengan judul Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, (Jakarta: Darul Falah, 2007), 261
[5] Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Islam, 278
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : IIIT, Cet II), 31
[7] H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, (Bogor: Kencana2003), 359
[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, TT), 282
[9] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), 279-280
[10] Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Islam, 280-281
[11] H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, (Bogor: Kencana, Cet I, 2003), 356-357
[12]Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, 261
[13] Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Islam, 281-282
[14] Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Islam , 280-281
[15]  Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syariah, 373
[16] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, Cet III), 48
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, TT), 916
[18] Dalam “Sistem Ekonomi Islam dan Keadilan (Bagian Ketiga)” http://indonesian.irib.ir/equilibrium/-/asset_publisher/yB7o/content/sistem-ekonomi-islam-dan-keadilan-bagian-ketiga diakses pada 8 April 2012
[19] Fiqh Siyasah Kontekstualisasi doktrin Islam, 291-293

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

.