BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam
hadir dengan tujuan untuk merealisasikan semua tuntutan kehidupan, memberikan
jalan untuk kemakmuran disemua aspek kehidupan manusia. Islam meliputi aqidah,
ibadah, moral, syariah, hukum, dan aturan muamalah.
Hidup manusia pada hakikatnya adalah ibadah kepada Allah
SWT, Islam bukan hanya syahadat, shalat,
zakat, puasa dan haji, lebih dari itu, kehidupan berkeluarga serta semua transaksi
juga ada di dalam Islam.
Islam
juga merupakan suatu sistem yang mengatur semua aspek kehidupan manusia dan ini
sudah termaktub di dalam
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
An- Nahl 16:89 :
tPöqtur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur Î/ #´Íky 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Artinya : “(dan ingatlah) akan hari (ketika)
Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat
manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri” QS. An-Nahl 16 : 89 [1]
Islam
memberikan aturan terhadap semua aspek manusia, bukan hanya manusia yang
sebagai subjek dari aturan Islam tetapi barang-barang yang menjadi objek dalam
kehidupan manusia itu sendiri, dengan kata lain
bahwa Islam juga mengatur kegiatan ekonomi manusia, juga semua hal yang
berkaitan dengan hajat hidup manusia itu sesndiri.
Lebih spesifik lagi kajian ini akan membahas lebih lanjut
mengenai mengenai jasa
terapi urine yang ramai dikabarkan merupakan salah satu alternative pengobatan,
seperti yang telah dijelaskan diatas mengenai manusia sebagai subjek aturan
islam yang bertindak sebagai pelaku, dan barang-barang sebagai objeknya. Jadi
bisa diambil kesimpulan bahwa objek kajian ekonomi Islam meliputi dua hal,
yaitu pelaku/ manusia dan objek ekonomi/ barang-barang yang
digunakan dalam kehidupan manusia tersebut.
Objek/ barang yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
(dalam hal ini mempertahankan kesehatan) dewasa ini kian bermacam-macam,
seperti yang banyak kita temukan di masyarakat bahwa ada alternative pengobatan
yang cenderung komersil dengan menggunakan barang-barang yang kurang lazim
bahkan haram untuk dijadikan obat, seperti jasa terapi urine, meminum darah,
memakan daging tokek maupun katak yang dipercaya bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Objek jasa inilah yang menarik penulis untuk mengkajinya
lebih lanjut, pembahasan selanjutnya akan lebih kami fokuskan kepada jasa
terapi urine/ air seni, bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap fenomena alternative
pengobatan yang tidak lazim tersebut dan bagaimana tinjauan hukum atas upah orang
yang menyarankan orang lainnya (selanjutnya disebut pemakai urine untuk terapi).
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana tinjauan hukum
Islam terhadap alternative terapi urine ?
2.
Bagaimana tinjauan hukum Islam atas upah orang yang menyarankan orang lainnya
(selanjutnya disebut pemakai urine untuk terapi)?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan
Hukum Islam terhadap Alternative Terapi Urine
Seperti
yang dilansir detikhealth.com 03/08/2009 bahwa “Air seni yang mengandung
banyak antiseptik ketika digunakan untuk perawatan ekternal dapat membuat kulit
berseri. Hal ini juga berguna untuk pengobatan penyakit seperti impoten,
kanker, osteoporosis, sembelit, kencing manis dan penyakit lainnya. Sebenarnya,
urine adalah obat terbaik yang
diproduksi oleh tubuh. Bayi yang ada di rahim sang ibu juga mengeluarkan air
seni seperti yang manusia lakukan. Bayi kemudian menelan urinnya sendiri
melalui saluran amniotic. Minum air kencing di pagi hari bisa berfungsi sebagai
tonik yang sangat berguna dalam mengobati penyakit-penyakit ringan. Berkumur
dengan urine dapat mengontrol kekuatan gigi. Urine juga dapat digunakan untuk
pengobatan mata dan telinga seperti glaukoma dan infeksi telinga.”[2]
Terapi urine juga digunakan untuk menyembuhkan hampir setiap yang
didera si pasien seperti ginjal, kanker, diabetes, jantung, psoasiasis,
eksim, sampai penyakit terganas saat ini, AIDS. Jika parah, terutama bagi
penderita penyakit kanker, jantung dan AIDS, minimal 5 gelas (1000 cc) sehari.
Atau, kalau si pasien menginginkan kesegaran tubuh dan kecantikan kulit cukup
dengan 1-2 gelas perhari. Caranya cukup yang diminum harus urinenya sendiri.
Akan tetapi, akan berbeda pula jika dipandang dengan kacamata Hukum
Islam. Dimana didalam ajaran Islam, kita dipekenalkan cara membedakan, mana
yang najis, mana yang tidak najis. Mana yang boleh di makan atau di minum. Mana
yang haram dan mana yang halal. Oleh karena itu, makna dari kemashlahatan kerap
saling tarik menarik demi bertemunya titik kejelasan yang termaktub dalam ajaran
Islam (syāri’); al-Quran, al-Hadits, dan Fiqh.
Lebih jauh lagi kita mendalami hal ini maka yang akan menjadi
pertimbangan adalah ajaran syariat Islam yang telah mengajarkan manusia untuk
tidak boleh berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar dalam
menggapai karunia Allah swt., demikian halnya di antara pasca-maslahat
yang diayomi oleh maqasidusy
syariah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdun nafs (memelihara
fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan generasi
umat manusia.[3]
Menurut Ibnul Qayim menuntut umat Islam untuk menjauhinya dengan
secagal cara. Sedangkan pengambilan sesuatu yang haram sebagai obat konsekuensi
dan efeknya adalah akan mendorong orang yang menyukai dan menjamahnya yang
tentunya hal ini bertentangan dengan maksud dan tujuan Allah dalam menetapkan
syarih-Nya.[4]
Selain itu, Qayyim juga mengatakan bahwa
mengkonsumsi makanan yang bergizi dan baik adalah metode pengobatan yang ampuh,
selain itu juga beliau mengutip perkataan al-Harist bin Kaladah bahwa
melindungi badan dan menjaga kesehatannya adalah inti dari pengobatan itu
sendiri.[5]
Namun demikian, Islam adalah agama rahmat dan
tidak menginginkan umatnya celaka dan membiarkannya binasa dalam kondisi
darurat karena salah satu tujuan syariah adalah hifdun-nafs (memelihara
kelangsungan hidup dengan baik).
Maka dalam konteks ini, ada kaidah rukhsah (dispensasi)
yang memberikan kelonggaran dan keringanan bagi orang yang sakit gawat dengan
ketentuan sebagaimana dikemukakan Dr. Yusuf Al-Qardlawi yaitu sebagai berikut:[6]
Pertama, benar-benar dalam kondisi gawat
darurat bila seorang penderita penyakit tidak mengkonsumsi sesuatu yang haram
ini.
Kedua, tidak ada obat alternatif yang
halal sebagai pengganti obat yang haram ini.
Ketiga,menurut resep atau petunjuk dokter muslim yang berkompeten dan
memiliki integrasi moral dan agama.
Keempat, terbukti secara uji medis dan
analisis ilmiah, di samping pengalaman empiris yang membuktikan bahwa suatu
yang haram tersebut benar-benar dapat menyembuhkan bahkan dan tidak menimbulkan
efek yang membahayakan.
Dalam pandangan Islam urine itu tidak baik dikonsumsi, sebagaimana
Islam menyuruh Manusia untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan
bergizi. Bukan yang kotor dan membawa penyakit.
Baik dan buruk itu ditentukan oleh syări’, karena dialah yang mengetahui segala sesuatunya. Dia punya hak
otoritas untuk menentukan halal dan haram. Bukan akal tabi’at manusia. Seperti
haramnya riba. Syara’ dan akal sama-sama berperan dalam
menetukan baik dan buruk. Yang menjadi standar adalah pengakuan dari syara’ dan
sesuai dengan tabi’at manusia. Apa yang tersurat baik oleh syara’, mesti di
dukung penuh akal sehat bahwa itu betul-betul baik. Sebab, tidak semua kehendak
perasaan itu sesuai dengan keinginan syara’. Perasaan berfungsi untuk
mengetahui apa yang sebetulnya diingini syara’.
Menyangkut Hukum Terapi Urine, Rasulullah menegur dengan hadits
tentang ketidakbolehan mengkonsumsi konsumsi urine, dikarenakan terdapat barang
najis. Berdasarkan hadits Nabi:
عَنْ أَنس قَالَ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ ؛ فَإِنَّ
عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَه
Dari Anas,
bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alahi wassalam
bersabda : “Bersihkan dari air kencing, karena sesungguhnya kebanyakan adzab
kubur itu dari air kencing (yang tidak dibersihkan)“ (HR. Daruquthni).[7]
Lain halnya, kebolehkan memakai terapi urine, manakala terserang
penyakit ganas; kanker ganas, jantung dan AIDS yang sampai detik ini belum
ditemukan obatnya wajib minum air seni demi kelangsungan hidup manusia.
Terutama, ketika lagi tidak ada uang, serta sulit mencari dana untuk berobat. Hal
ini terlampir di dalam al-Quran Surat Al-An’am 6 : 119 :
وَمَا لَكُمْ
أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا
لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُعْتَدِينَ
“Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah
menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia)
benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa
pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang
yang melampaui batas.”
Tidak salah, urine tidak hanya diminum untuk menyembuhkan penyakit
dalam. Tapi juga bisa di gunakan untuk mempercantik dan mencegah rambut rontok.
Bahkan sebagian kosmetik kecantikan, bahan bakunya terdiri dari ekstra urine.
Di dalam teori ushul fiqih terapi urine diperbolehkan untuk
penyakit keras, dari pada menyiksa tubuh sendiri digerogoti (merusak tubuh)
bertentangan dengan maqasyidusy-syari’ah
(hifzun nafs), lebih baik
memberlakukannya (karena mengandung mashlahat). Larangan menyentuh barang najis
termasuk tahsiniyyat. Yaitu hal-hal yang
tujuannya memperindah diri agar tidak mengurai prestise (harga
diri).
Namun demikian, kalau hanya diperuntukkan demi mempercantik diri,
tidak dapat menghalagi haram, kalau luluran saja. Akan tetapi, jika terdapat
jerawat, rambut rontok, maka dianjurkan memakai terapi urine sebagai solusinya.
Maka bukan lagi tahsiniyyat melainkan hajiyyat (menghilangkan
kesulitan diri). Ketika keduanya (tahsiniyyat maupun hajiyyat) dihadapkan, tentu hajiyyat yang
dimenangkan. Yang terpenting, jika hanya untuk mempercantik tidak boleh
mengkonsumsinya, karena tidak ada kejelasan dalam penyakitnya.
Jika
merujuk pada interpretasi para madzahib, terdapat pergolakan pemikiran antara
Imam Syafi`i dan Imam Hanafi yang sama meneguhkan menyangkut terapi urine
sebagai obat. Imam Syafi’i masih toleran mengenai pengobatan urine (alternatif)
karena tidak ada lagi penyembuhan penyakit. Lain halnya, apabila masih ada obat
yang lebih baik dari urine, maka hukumnya tetap haram. Sesuai Hadits Rasul:
إِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya
Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kamu di dalam sesuatu yang diharamkan.” (HR.
Bukhari).[8]
Berobat
dengan barang najis, termasuk di dalamnya air kencing manusia haram. Ini
pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.
Dalil-dalilnya
sebagai berikut :
Hadist
Abu Darda’, bahwasanya Rosulullah Shallallahu A’laihi Wasallam bersabda :
إنَّ
اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً
فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu Wata’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat, serta
menyediakan obat bagi setiap penyakit, maka berobatlah, dan jangan berobat
dengan sesuatu yang haram. “ (HR. Abu Daud)
Hadist
Abu Hurairah radiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata :
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“ Rosulullah
saw melarang untuk berobat dengan barang yang haram ”. (HR. Abu Daud,
Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dibolehkan
berobat dengan kencing manusia, jika hal itu memang bisa menyembuhkan dan tidak
ada obat mubah yang lainnya, serta dianjurkan oleh dokter muslim. Ini adalah
pendapat sebagian ulama Hanafiyah, dan sebagian ulama Syafi’iyah.[9]
Berkata
Imam Nawawi :
وَأَمَّا التَّدَاوِى
بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرَ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيْهِ جَمِيْعُ
النَّجَاسَاتِ غَيْرَ المُسْكِرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوْصُ وَبِهِ
قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ
“Adapun
berobat dengan sesuatu yang najis selain khomr, maka hal itu dibolehkan, dan
berlaku bagi semua yang najis yang tidak memabukkan. Ini adalah pendapat yang
dipilih madzhab (Syafi’i) dan sudah tertulis serta diyakini oleh mayoritas
(ulama syafi’iyah).
Imam Mawardi menjelaskan bahwa jika seseorang kehausan
dan takut mati, tidak mendapatkan apa-apa kecuali air najis atau kencing, maka
dibolehkan baginya untuk meminumnya, tetapi minum air najis lebih ringan
dibanding minum air kencing, karena najisnya air itu berasal dari luar,
sedangkan najisnya kencing, berasal dari dalam kencing itu sendiri( najis
lidzatihi ) . Oleh
karena itu dibolehkan juga berobat dengan air kencing, jika tidak ada obat yang
suci. [10]
Firman
Allah swt :
فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
“
Maka, barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( Qs Al Baqarah : 173 )
Kaidah
Fiqh yang berbunyi:
الحَاجَةُ
تُنزلُ مَنزلة الضّرُورَة
“
Kebutuhan itu dianggap sebagai sesuatu yang darurat “ [11]
Dalam
kasus berobat dengan air kencing manusia, barangkali dia sudah berobat
kemana-mana tapi belum juga sembuh, jika berobat dengan air kencing manusia ini
bisa dijadikan alternatif, maka hal itu dibolehkan.
B.
Tinjauan hukum Islam atas upah orang yang
menyarankan orang lainnya menggunakan
terapi urine
Mengenai
jasa terapi urine, di beberapa sumber yang kami dapatkan belum menemukan
kejelasan mengenai bagaimana transaksi dan jasa terapi urine ini, beberapa
sumber hanya menyebutkan bahwa terapi urine dilakukan sendiri oleh orang yang
menderita penyakit (selanjutnya disebut pasien) tersebut, dengan beberapa cara
yang sudah kami sebutkan dipembahasan awal.
Untuk
memberikan esensi dan fokus pembahasan muamalah atas penerapan terapi urine,
maka pada pembahasan kali ini akan lebih cenderung kepada seseorang (dengan
profesi tertentu) yang menyarankan kepada seorang lainnya (selanjutnya disebut
pemakai urine untuk terapi) untuk menerapkan terapi urine atas penyakit yang
dideritanya. Maka bagaimana Islam
memandang upah tersebut apakah telah sesuai dengan syariat atau belum.
Allah
menegaskan tentang imbalan / upah dalam Al-Qur’an dalam surat At-Taubah : 105
È@è%ur
(#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$#
ö/ä3n=uHxå
¼ã&è!qßuur
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur ( cruäIyur
4n<Î)
ÉOÎ=»tã É=øtóø9$#
Íoy»pk¤¶9$#ur
/ä3ã¥Îm7t^ãsù
$yJÎ/ ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÊÉÎÈ
Artinya
: “dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”
Quraish
Shihab menjelaskan
dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
“Bekerjalah
Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat,
baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan
melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”
Tafsir
dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi
ganjaran terhadap amal-amal itu. Sebutan lain daripada ganjaran adalah
imbalan atau upah atau compensation.[12]
Sehingga
dari ayat Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat
didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas
pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan
dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).
Allah
juga telah berfirman dalam surat Al-Baqarah : 267
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr&
`ÏB ÏM»t6ÍhsÛ
$tB óOçFö;|¡2
!$£JÏBur
$oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚöF{$#
( wur
(#qßJ£Jus? y]Î7yø9$# çm÷ZÏB
tbqà)ÏÿYè?
NçGó¡s9ur ÏmÉÏ{$t«Î/
HwÎ)
br& (#qàÒÏJøóè? ÏmÏù 4 (#þqßJn=ôã$#ur ¨br&
©!$#
;ÓÍ_xî
îÏJym ÇËÏÐÈ
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan
dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.
Tidak
selayaknya bagi seorang muslim yang masih diberikan Allah Ta’ala kekuatan dan
kelapangan mengambil upah dari sesuatu yang masih mengandung usur keragu-raguan
(gha}rar).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah pernah memerintahkan Sohabat yang bernama Muhayyishah radliyallaahu
‘anhu untuk mempergunakan hasil upah bekam untuk membelikan
makanan ternak.
Sangat
disayangkan fenomena dewasa ini suburnya praktek-praktek jasa pengaobatan
alternative dengan alat dan barnag-barang yang tidak lazim dikonsumsi manusia
yang memang dijadikan sebagai lahan bisnis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Tinjauan hukum Islam terhadap
alternative terapi urine
Terapi
urine diperbolehkan dengan mempertimbangkan tujuan dari terapi itu sendiri
yaitu kesembuhan dengan catatan hanya dalam keadaan terpaksa. Karena mengingat
pentingnya kesehatan bagi setiap manusia.
Tanpa
kesehatan manusia tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai hamba
Allah dengan sempurna juga tidak dapat melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi
manusia lainnya.
Sebagaiman
firman allah dalam surat al-Baqarah ayat 173,
yang membolehkan Sesutu yang haram
dengan catatan dalam keadaan terpaksa.
2.
Tinjauan hukum Islam atas upah
orang yang menyarankan orang lainnya untuk menggunakan
terapi urine
Tidak selayaknya bagi seorang muslim yang masih
diberikan Allah Ta’ala kekuatan dan kelapangan mengambil upah dari sesuatu yang
masih mengandung usur keragu-raguan (gha}rar). Maka upah yang didapatkan
seseorang yang menyarankan orang lainnya menggunakan terapi urine adalah
makruh,, boleh asal penggunaan upah tersebut untuk makanan ternak (disandarkan
pada upah pembekaman).
DAFTAR PUSTAKA
Azzam, Muhammad. A. A. 2005.
al-Qawa’id al-Fiqhiyah, (Kairo : Dar al-Hadist)
Budi, Setiawan
Utomo. 2003. Fiqih Aktual, cet. ke-I, (Jakarta : Gema Insani Press).
Mawardi, tt. al Hawi
al Kabir, Jilid 15 . (Beirut : Darul Kutub Ilmiyah)
Muhammad, Al-Bukhori bin
Ismail. 2004, Sahih al-Bukhori, (Beirut
: Dar al-Kutub Ilmiyah)
Nu`aim,
M. Yasin.2006, Fiqih
Kesehatan, Penerjemah Munirul Abidin,
MA, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar)
Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
http://health.detik.com/read/2009/08/03/162042/1176620/766/terapi-urine-hilangkan-penyakit
“Terapi Urine Hilangkah Penyakit?” oleh Irna Gustia diakses pada 18/10/2012
[2] http://health.detik.com/read/2009/08/03/162042/1176620/766/terapi-urine-hilangkan-penyakit
“Terapi Urine Hilangkah Penyakit?” oleh Irna Gustia diakses pada 18/10/2012
[4] Ibid,
185
[5] M. Nu`aim Yasin, Fiqih Kesehatan, Penerjemah Munirul Abidin, MA, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 15
[6] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual, cet. ke-I (Jakarta: Gema Insani Press, 2003),
hlm. 185-186
[7] Imam Daruquthni mengatakan bahwa yang benar
dari hadist ini adalah Mursal, tetapi dalam riwayat Abu Hurairah dan Ibnu
Abbas sanadnya shohih
[8] Al Bukhori
Muhammad bin Ismail, Sahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiyah,
2004), hlm 1062.
[10] Mawardi, al
Hawi al Kabir, 15/ 170.
[12] http://ilmumanajemen.wordpress.com/2009/06/20/pengertian-upah-dalam-konsep-islam/
diakses pada 21 Oktober 2012
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar